Senin, 21 Januari 2013

[3] 1.Larangan Berkeluh Kesah, Susah Duniawi, dan Merendah terhadap Orang Kaya


Sebagaimana sabda Nabi saw. berikut ini :

"Barangsiapa yang di pagi hari mengadukan kesulitan hidupnya (kepada orang lain), maka berarti ia telah mengadukan Tuhannya. Dan barangsiapa yang di pagi hari sudah merasa susah dengan urusan duniawinya, maka ia telah membenci Allah pada saat itu juga. Dan barangsiapa yang merendahkan dirinya di hadapan orang kaya lantaran melihat hartanya, maka telah hilang dua pertiga agamanya (dari dirinya)."

Segala pengaduan itu memang hanya layak disampaikan kepada Allah swt. karena dengan mengeluh kepada Allah, berarti kita telah berdoa kepada-Nya. Sedang mengadu kepada sesama manusia itu menunjukkan ketidakrelaannya terhadap apa yang telah ditentukan Allah.Sebagaimana yang telah diterangkan dalam sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut :

"Bukankah aku belum mengajarkan kepada kalian kalimat yang (pernah) diucapkan oleh Nabi Musa as. ketika menyebrangi lautan bersama Bani Isra'il?" Maka kami menjawab, "Begitulah wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Ucapkanlah "Allahahumma lakal hamdu wa ilaikal musytakaa wa antalmusta'an wala haula wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhiim". (Ya Allah, hanya bagimu segala puji, hanya kepada-Mulah tempat mengadu. Engkau tempat meminta pertolongan, dan tiada daya upaya dan kekuatan melainkan hanya dengan pertolongan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung."

Al A'masy berkata, "Setelah aku menerima kalimat-kamlimat itu dari Saqiq Al Asadi yang berkebangsaan Kufah, yang ia juga memperolehnya dari Abdullah ra maka akupun tidak pernah meninggalkannya lagi."

Kemudian ia berkata, "Dalam mimpiku aku melihat seseorang yang datang kepadaku, seraya berkata, "Wahai Sulaiman, tambahlah kalimat-kalimat itu dengan bacaan :
wa nasta'inuka 'ala fasadin fiina wa nas-aluka sholaha amrina kullih (.. dan kami mohon pertolongan kepada-Mu atas kehancuran yang telah menimpa kami, dan kami mohon kepada-Mu kebaikan segala urusan kami)."

Dan barangsiapa yang merasa sedih lantaran memikirkan urusan-urusan duniawinya, maka berarti ia telah marah kepada Allah, karena tidak rela dengan qadha yang telah ditentukan oleh Allah, tidak sabar terhadap ujian-Nya dan tidak beriman kepada Qadar-Nya. Karena apapun yang terjadi di dunia ini adalah berdasarkan qadha dan qadarnya Allah.

Dan barangsiapa yang merendahkan dirinya di hadapan orang yang kaya lantaran melihat kekayaannya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan dua pertiga agamanya.
Islam hanya membolehkan seseorang memuliakan orang lain karena kebaikan dan ilmunya (tidak karena kekayaannya). Oleh sebab itu, barangsiapa yang lebih mengagungkan harta bendanya daripada yang lainnya, maka berarti ia telah meremehkan ilmu dan kebaikan.

Sayid Syaikh Abdul  Qadir Jailani -Qaddasa Sirrahu- pernah mengatakan, "Perbuatan orang yang beriman itu harus berdasar pada tiga perkara, yaitu mengerjakan segala yang telah diperintahkan Allah, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan rela terhadap qadar yang telah ditentukan baginya. Seandainya tidak dapat melaksanakan seluruhnya, paling tidak setiap orang yang beriman itu harus memiliki (dapat mengerjakan) salah satunya. Karenanya setiap orang yang beriman itu wajib memperhatikan hatinya dan seluruh anggota tubuhnya agar dapat mengerjakan ketiga perkara tersebut."

Jumat, 18 Januari 2013

[2] 30. Nikmatnya Dekat Kepada Allah dan Pahitnya Jauh Dari-Nya


Asy Syibli pernah berkata sebagai berikut :

"Apabila kamu telah merasakan nikmatnya dekat kepada Allah, niscaya kamu tahu bagaimana rasanya jika jauh dari-Nya."

Maksudnya, jika seandainya kita telah merasakan betapa nikmatnya dekat kepada Allah SWT, tentu kita bisa membayangkan bagaimana pahitnya jika kita harus berpisah dengan Allah SWT. Memang, menurut orang yang sudah merasakan betapa nikmatnya dekat kepada Allah, bahwa jauh dari Allah itu adalah merupakan siksaan yang paling berat.

Karenanya Rasulullah saw senantiasa memanjatkan doa :
"Ya Allah, anugrahkanla kepada kami kelezatan memandang wajah-Mu Yang Maha Mulia dan kenikmatan rasa rindu berjumpa dengan-Mu."

Selasa, 15 Januari 2013

[2] 29. Cinta Kepada Allah Melebihi Cintanya Kepada Dirinya Sendiri


Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Asy syibli :

"Apabila kamu ingin lebih cinta kepada Allah, maka kalahkanlah rasa cintamu terhadap dirimu sendiri."

Pernyataan diatas memiliki maksud, bahwa jika hati sudah terpaut kepada Allah dan tidak mau berpisah dari-Nya, maka kamu harus mengalahkan rasa cintamu kepada dirimu sendiri.

Setelah Asy Syibli wafat, (dalam sebuah cerita diterangkan) bahwa pernah dalam suatu impian ia ditanyai tentang keadaan dirinya. Maka beliaupun menjelaskan, "Allah bertanya kepadaku dengan firman-Nya, "Wahai Abu Bakar, Mengapa Aku mau mengampunimu?"

Jawabku, "Karena dengan amal shalehku."

Allah berfirman lagi, "Tidak."

Jawabku pula, "Karena keikhlasan ibadahku."

Allah berfirman lagi, "Tidak juga."

Maka aku menjawab, "Karena haji, puasa dan shalatku."

Allah berfirman pula, "Juga tidak."

Lalu aku menjawab, "Karena kepergianku untuk menuntut ilmu kepada orang-orang yang shaleh."

Allah pun tetap berfirman, "Tidak."

Maka ganti aku yang bertanya, "Wahai Tuhanku, lalu dengan apa Engkau mengampuni semuanya itu?"

Maka Allah berfirman, "Ingatkah kamu, ketika berjalan melewati Baghdad, lalu kamu melihat seekor kucing yang sedang kedinginan, kemudian kamu mengambilnya dan menyelamatkannya di dalam jubahmu itu?"

Maka jawabku, "Ya, aku ingat."

Lalu Allah berfirman lagi, "Karena kasih sayangmu terhadap kucing itulah, sehingga menyebabkan Aku juga menaruh belas kasihan kepadamu."

Rabu, 02 Januari 2013

[2] 28. Berdoa dan Memohon Ampun


Sebagaimana yang dipanjatkan oleh Abu Bakar Asy Syibli ra. dalam sebuah doanya berikut ini :

"Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku suka mengadukan segala kebaikanku bersama kesengsaraan dan kelemahanku, maka bagaimana Engkau tidak suka menganugerahkan kepadaku segala kelemahanku bersama kemahakayaan-Mu untuk tidak menyiksaku."

Kesengsaraan disini diartikan kebutuhan untuk mendapatkan kebaikan dan dengan kelemahannya itu dimaksudkan untuk memperbanyak amal ibadah. Sedang permohonan untuk tidak disiksa, itu karena Allah tidak akan rugi lantaran perbuatan jahat manusia begitu juga tidak akan merasa untung dengan kebaikan manusia itu.

Abu Bakar Daif Ibnu Jahdar Asy Syibli adalah termasuk salah satu tokoh makrifat kepada Allah swt. Beliau dilahirkan di Baghdad dan bermazhab Maliki, dan beliau hidup selama 87 tahun. Semasa mudanya beliau sering bersilaturahim kepada Al Junaidi dan kepada tokoh-tokoh lain yang semasa dengannya. Beliau wafat pada tahun 334 H dan dimakamkan di Baghdad.

Beliau pernah diberi ijazah oleh salah seorang yang mulia untuk senantiasa membaca tiga bait Bahar Wafir setiap selesai shalat Jum'at sebanyak tujuh kali, yaitu sebagai berikut :

"Wahai Tuhanku, aku bukanlah termasuk ahli (surga) Firdaus, 
Namun aku tidak sanggup menahan (siksa) neraka Jahim. 
Maka terimalah taubatku dan ampunilah segala dosa perbuatanku. 
Karena sesungghunya Engkau Yang Maha Pengampun dosa yang besar. 
Perlakukanlah daku dengan perlakuan orang-orang yang mulia, 
Dan tetapkanlah diriku di jalan yang lurus."

Kisah Tentang Keutamaan Asy Syibli

Asy Syibli datang kepada Ibnu Mujahid. Maka Ibnu Mujahid merangkulnya seraya mencium kening diatara kedua matanya. Lalu Asy Syibli bertanya kepada Ibnu Mujahid, "Mengapa engkau lakukan hal itu kepadaku?"
Beliau menjawab, "Karena aku pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw, lalu berliau menghampirimu dan mencium kening diantara kedua matamu."
Maka aku bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah, mengapa baginda melakukan hal itu kepada Asy Syibli?"
Lali beliau menjawab, "Aku melakukan itu semua karena ia selalu membaca ayat Laqod jaa akum ... (128-129 surat At Taubah) pada setiap selesai mengerjakan shalat fardhu.
Kemudian dilanjutkan dengan membaca : "Shollallahu 'alaika ya muhammad". Artinya : semoga shalawat Allah tetap atasmu, wahai muhammad.

Setelah itu Ibnu Mujahid menyatakan, "Setelah aku bertanya kepada Asy Syibli tentang bacaan setelah shalat fardhu, itu ternyata dijawab oleh Asy Syibli sebagaimana yang terdapat dalam mimpinya tersebut di atas."